Manusia hidup
dalam dialektika dengan sains-teknologi, agama, dan filsafat. Dialektika
berarti manusia menciptakan ketiganya, sekaligus diciptakan oleh ketiganya. Di
sisi lain sains-teknologi lahir dari filsafat, sekaligus mendefinisikan
filsafat itu sendiri. Filsafat membantu mencerahkan iman dalam agama, sekaligus
diperluas kedalamannya oleh agama itu sendiri. Dan sains memperoleh nilai-nilai
kehidupan yang transenden dari agama, sekaligus membuat agama menjadi lebih
beradab.
Persilangan antara
sains-teknologi, agama, filsafat, dan manusia tidak bisa dihindarkan. Dalam
situasi ideal kehadiran semuanya saling memperkaya satu sama lain. Namun di
Indonesia ketiganya saling bersaing dan meniadakan satu sama lain. Inilah salah
satu sebab, mengapa kita tidak akan pernah maju sebagai bangsa.
Sains dan
Manusia
Sains lahir dari
tangan manusia. Namun kini sains membantu mendefinisikan siapa itu manusia.
Dengan rasionalitasnya manusia melahirkan sains. Kini apa itu rasionalitas pun
ditentukan oleh aktivitas saintifik. Inilah dialektika antara manusia dan sains
yang tidak bisa terhindarkan.
Yang berharga dari
sains adalah pola berpikir saintifik. Pola berpikir saintifik mengedepankan
keterbukaan pada fakta, walaupun fakta itu bertentangan dengan pandangan kita.
Pola berpikir saintifik mengedepankan kesabaran dalam menguji anggapan, dan
tidak terjebak pada prasangka yang menjauhkan kita dari kebenaran. Pola
berpikir saintifik mengajarkan kita untuk bersabar, ketika tahu bahwa apa yang
kita peroleh ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.
Ironisnya di
Indonesia para ilmuwan yang seharusnya menghidupi pola berpikir saintifik tidak
mencerminkan keutamaan-keutamaan di atas. Sebaliknya mereka menjadi “pelacur”
bagi kepentingan ekonomi-bisnis, politik ideologis, ataupun
fundamentalis-religius sesaat, dan melupakan panggilan luhur untuk melayani
umat manusia secara keseluruhan, apapun status ekonomi, politis, ataupun
agamanya. Pola berpikir saintifik dijual murah, demi memperoleh rupiah ataupun
kekuasaan semu yang akan hilang dengan berjalannya waktu.
Filsafat dan
Manusia
Filsafat juga
lahir dari tangan manusia. Namun kini siapa itu manusia juga didefinisikan oleh
filsafat. Inilah dialektika antara filsafat dan manusia. Filsafat lahir dari
nalar manusia. Namun kini tindakan bernalar identik dengan kegiatan berfilsafat.
Yang berharga dari
filsafat adalah cara berpikirnya yang rasional, kritis, dan sistematis di dalam
memandang segala sesuatu yang ada di dunia. Filsafat menjauhkan orang dari
trend publik yang irasional, dan mengajak untuk melihat ke dalam dirinya
sendiri, guna menemukan kebenaran dan kebijaksanaan. Filsafat memberikan
kedalaman bagi hidup orang modern yang tampak kering tersiksa tuntutan jaman
dan akal budi mekanis yang membosankan. Filsafat memberikan makna dan
petualangan intelektual bagi mereka yang antusias memeluknya.
Di Indonesia
filsafat masih banyak disalahpahami. Banyak orang berpendapat bahwa filsafat
itu ilmu sulit. Kaum agamawan sempit banyak berpendapat, bahwa filsafat itu
bisa merusak iman. Akibatnya filsafat dipenuhi dengan prasangka. Jarang ada
orang yang mau mendalami filsafat dalam arti sebenarnya. Mereka yang
berlatarbelakang filsafan biasanya karena keterpaksaan, dan bukan karena
pilihan.
Agama dan
Manusia
Agama lahir dari
persentuhan manusia dengan Tuhan. Agama lahir dari kebenaran yang diwahyukan
oleh Tuhan kepada manusia, demi kebaikannya sendiri. Tujuan agama adalah untuk
melepaskan manusia dari kebiadaban, perang, dan ketidakadilan, serta
menuntunnya kepada cinta, perdamaian, dan kesejahteraan. Kebenaran agama yang
berasal dari wahyu Tuhan membuat hidup manusia lebih mulia.
Yang berharga dari
agama adalah kemampuannya untuk memberikan makna dan nilai pada hidup manusia.
Agama menjelaskan dari mana kita berasal, apa yang mesti kita lakukan dalam
hidup, dan kemana kita akan pergi, setelah kita mati. Agama menjelaskan mengapa
kita menderita, dan mengapa kita bahagia. Agama memberikan kejelasan tentang
apa yang harus kita perjuangkan secara serius dalam hidup ini.
Sayangnya
mayoritas orang beragama di Indonesia tidak menghayati arti cinta, perdamaian,
dan kesejahteraan yang ditawarkan oleh agama. Mereka menjadikan agama sebagai
alat untuk membenarkan penindasan. Mereka menjadikan agama sebagai alat untuk
menyingkirkan yang berbeda, terutama kelompok minoritas. Bagi mereka agama tidak
memberikan makna, melainkan hanya sekedar alat untuk membenarkan pemburuan
kekuasaan.
Dialektika
Setengah Hati
Sikap setengah
hati para ilmuwan, filsuf, dan orang-orang beragama di Indonesia membuat relasi
ketiganya tidak memperkaya, melainkan justru penuh prasangka. Sains dan
teknologi curiga pada filsafat, sama seperti filsafat meremehkan sikap mekanis
patuh di dalam sains. Filsafat curiga para irasionalitas agama, sama seperti
agama curiga pada sifat destruktif filsafat. Sains merendahkan sisi naif agama,
dan agama pun benci dengan arogansi sains.
Di Indonesia
dialektika ketiganya berlangsung setengah hati. Tidak ada kerja sama. Yang ada
adalah prasangka dan arogansi. Selama ini berlangsung selama itu pula kemajuan
hanya mimpi tanpa realitas, karena pada dasarnya, kita berperang di dalam diri
kita sendiri, dan ini justru merugikan semua pihak. Yang mungkin tercipta di
Indonesia adalah masyarakat yang semakin lama semakin primitif, justru di
tengah perlombaan dunia internasional untuk menjadi semakin maju.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar